Senin, 15 Juli 2013

Muslim Uighur Dipaksa Makan Selama Ramadan

Muslim Uighur Dipaksa Makan Selama RamadanLihatlah FotoMuslim Uighur Dipaksa Makan Selama Ramadan,
Xinjiang - Muslim Uighur di Cina tak tenang menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Menurut juru bicara World Uighur Congress, Dilxadi Rexiti, para pejabat pemerintah berulang kali masuk ke rumah-rumah warga Uighur untuk memaksa mereka makan dan minum pada siang hari di bulan Ramadan.
Laporan lain oleh Uighur American Association (UAA) menyatakan pemilik restoran di Hotan wajib buka selama Ramadan. "Bahkan jika ditutup karena sedang melakukan perbaikan, mereka didenda," kata laporan UAA.
KEBEBASAN beragama siswa Uighur direnggut oleh kebijakan otonom Xinjiang. Ramadhan tahun ini muslim Uighur di wilayah barat laut Cina dilarang puasa selama bulan suci Ramadhan.

"Mereka mengeluarkan jaminan dari orang tua, menjanjikan bahwa anak-anak mereka tidak akan berpuasa pada bulan Ramadhan," kata Dilxat Raxit, juru bicara Kongres Uighur Dunia (WUC) yang berbasis di Swedia karena pengasingan, kepada Radio Free Asia pada hari Kamis, 13 Juni, demikian lansir onislam.net.

Berdasarkan pembatasan ini, siswa Uighur di bawah 18 tahun dilarang berpuasa selama bulan Ramadhan atau ambil bagian dalam kegiatan keagamaan.

Selain itu, Karamay Daily melaporkan, akses kaum Muslim masuk ke masjid dibatasi. Rexiti menyatakan, pengajian sepenuhnya dilarang dan tempat-tempat ibadah diawasi ketat, terutama di utara kota Karamay.
Pegawai pemerintah, dosen dan mahasiswa juga didenda jika berpuasa. Menurut laporan tahunan USCIRF, banyak Muslim Uighur dipenjara karena terlibat dalam kegiatan keagamaan. "Diluncurkan atas nama stabilitas dan keamanan, Beijing melakukan penindasan terstruktur terhadap Muslim Uighur, termasuk penargetan pertemuan pribadi yang damai untuk studi agama dan ibadah," kata Katrina Lantos Swett, ketua Komisi AS tentang Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), seperti dikutip oleh The Muslim Village pada Senin.
"Pembatasan agama yang sangat agresif sangat mengganggu bagi kehidupan Muslim Uighur," kata Presiden UAA Alim Seytoff. Ia menyatakan, pengawasan ketat justru akan semakin memancing kemarahan rakyat Uighur. "Kekerasan bisa meletus lagi karena tindakan represif yang sistematis."
Pengamat Cina di Singapura memperingatkan situasi di Xinjiang lebih dari masalah keamanan lokal. "Cina perlu mengelola minoritas dengan lebih baik," kata Ronan Gunaratna, kepala Pusat Internasional untuk Penelitian Kekerasan Politik dan Terorisme Singapura.

Pengawasan ketat Cina atas Uighur, kata ahli lain, hanya akan membawa Cina memasuki "lingkaran setan" yang hanya menciptakan lebih banyak kebencian. Langkah-langkah ini benar-benar mengancam gejolak  yang berpotensi pecah sewaktu-waktu baik di tingkat regional, atau bahkan nasional.
"Cina bisa meledak di mana saja, tapi Xinjiang berada di barisan depan," kata Kerry Brown, direktur Pusat Studi Cina di Universitas Sydney.
Etnis Uighur adalah minoritas berbahasa Turki dengan delapan juta warga di wilayah Xinjiang barat laut. Xinjiang, kerap disebut Turkestan Timur, menjadi otonom sejak tahun 1955, namun terus menjadi subyek tindakan keras aparat keamanan Cina.

Mereka juga telah membuat kelompok-kelompok dari 10 rumah tangga yang bertanggung jawab untuk memata-matai satu sama lain

Siswa yang menentang pembatasan akan dilaporkan kepada pihak berwenang untuk mendapatkan hukuman.

"Mereka juga telah membuat kelompok-kelompok dari 10 rumah tangga yang bertanggung jawab untuk memata-matai satu sama lain, sehingga jika seorang anak dari satu keluarga berpuasa Ramadhan, atau mengambil bagian dalam kegiatan keagamaan, maka semua 10 keluarga akan didenda," kata Raxit.

"Ini disebut sistem jaminan 10-rumah tangga."

Pejabat agama telah mengkonfirmasi bahwa puasa Ramadhan dilarang untuk siswa Muslim Uighur.

"(Puasa) tidak diperbolehkan," kata seorang pejabat di biro urusan agama di Hotan, distrik Yutian kepada Radio Free Asia.

"Para siswa dan guru harus melapor ke sekolah mereka setiap hari Jumat, bahkan selama liburan.

"Ini seperti pelajaran reguler," katanya, menambahkan bahwa siswa juga akan makan di sana.

Para aktivis juga mengeluhkan bahwa siswa Uighur dipaksa mematikan ponsel mereka menjelang Ramadhan.

"Setelah siswa kembali ke kampung halaman mereka, siswa-siswa yang memiliki ponsel dan komputer harus menyerahkannya ke polisi karena penggeledahan," kata Raxit.

"Jika mereka tidak menyerahkannya dan dilaporkan atau tertangkap oleh pihak berwenang, maka mereka harus menanggung akibatnya."

Pembatasan sebelum Ramadhan datang menjelang empat tahun kerusuhan di Xinjiang, yang menewaskan hampir 200 orang.

Xinjiang telah menjadi daerah otonom sejak tahun 1955, namun terus menjadi subyek tindakan keras keamanan besar-besaran oleh pemerintah Cina.

Kelompok-kelompok HAM menuduh pihak berwenang China melakukan kekerasan agama terhadap Muslim Uighur atas nama kontra terorisme.

Kelompok-kelompok HAM menuduh pihak berwenang Cina bersikap represif terhadap Muslim Uighur di Xinjiang atas nama mencegahan terorisme. Muslim menuduh pemerintah berusaha memberangus jutaan etnis Han di wilayah mereka dengan tujuan akhir melenyapkan identitas dan budaya. 

0 komentar:

Posting Komentar